BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut
catatan sejarah, pada mulanya ilmu balaghah tidak diperinci menjadi beberapa
bagian melainkan dicampurbaurkan antara yang satu dengan yang lainnya. Kemudian
barulah dipilah-pilah kedalam beberapa bagian pada masa As-Sakaki.
Semenjak
itulah sampai sekarang, ilmu balaghah mencakup tiga bagian di dalamnya, yaitu:
ilmu ma’ani, ilmu bayan dan ilmu badi’. Dalam pembahasan ilmu bayan terbagi ke
dalam beberapa bagian yang salah satunya yaitu tentang Majaz dan itupun terbagi
lagi menjadi majaz lughawi dan aqly. Salah satu
kajian dalam majaz lughawi yaitu:
الاستعارة، و هي ما
كانت علاقته تشبيه معناه بما وضع له.
Dan
dapat dipahami secara sederhana sebagai gaya bahasa tasybih yang dibuang salah
satu dari musyabbah dan musyabbah bih-nya, serta hubungan antara
makna hakiki dan makna majazinya yaitu hubungan langsung. (Al-Khatib
Al-Qazwini, 2010 : 212)
Dalam
pembahasan isti’arah terdapat beberapa kategori yang salah satu akan
penulis paparkan lebih lanjut dalam makalah ini yaitu kategori isti’arah
berdasarkan penyebutan musyabbah dan musyabbah bih-nya yakni isti’arah
tashrihiyyah dan makniyyah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan isti’arah ?
2. Apa yang dimaksud dengan isti’arah
tashrihiyyah ?
3. Apa yang dimaksud dengan isti’arah
makniyyah ?
4. Apa perbedaan antara
isti’arah tashrihiyyah dan isti’arah makniyyah ?
5. Apa alasan pemakaian
isti’arah tashrihiyyah dan isti’arah makniyyah itu ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui serta memahami tentang pengertian isti’arah.
2.
Untuk mengetahui serta memahami tentang isti’arah tashrihiyyah.
3.
Untuk mengetahui serta memahami tentang isti’arah makniyyah.
4.
Untuk mengetahui serta memahami tentang perbedaan isti’arah tashrihiyyah
dan isti’arah makniyyah.
5.
Untuk memahami serta memahami tentang alasan pemakaian isti’arah
tashrihiyyah dan isti’arah makniyyah.
BAB II
الإستعارة
التصريحية و المكنية
A.
Pengertian Isti’arah
Isti’aroh
adalah tasybih yang dibuang salah satu dari kedua unsurnya (musyabbah /
musta’arlah dan musyabbah bih / musta’ar minhu). Bila ditinjau dari unsur
tersebut isti’arah terbagi kepada: Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah. (Maman
Dzul Iman, 2013 : 23).
a)
Isti’arah Tashrihiyyah
Menurut
Ali al-Jarim dan Musthafa Amin dalam bukunya Al-Balaghatul Wadhihah menyebutkan
bahwa Isti’arah Tashrihiyyah adalah :
ما
صرح فيها بلفظ المشبّه به
Dalam bukunya Abdurrahman
Hasan Al-Maidani yang berjudul Al-Balaghah Al-Arabiyah Ususuha Wa
Ulumuha Wa Fununuha mendefinisikan Isti’arah
Tashrihiyyah adalah:
هي
التي يُصرّح فيها بذات اللفظ المستعار
“ Isti’arah
yang diperjelas dengan lafadz musta’arnya sendiri. ” (Abdurrahman
Hasan Al-Maidani, 1997 : 242).
Dari definisi-defenisi di atas dapat dipahami bahwa
isti’arah tashrihiyyah adalah isti’arah yang musyabbah bih-nya disebutkan
dengan jelas di dalam kalimat.
·
Contoh-Contoh:
a. Allah SWT
berfirman dalam Al-Quran Surat Ibrahim ayat 1:
كتاب
أنزلناه إليك لتخرج النّاس من الظلمات إلي النور
“(Ini adalah)
Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap
gulita kepada cahaya terang benderang....... ”
Pada
contoh di atas lafadz majazinya adalah الظلمات(kegelapan) danالنور (cahaya). Benarkah Al-Quran dapat mengeluarkan manusia
dari kegelapan ke alam yang terang benderang? Tentu tidak, karena yang dimaksud
oleh Allah SWT dalam firman-Nya adalah bukan makna hakiki, melainkan makna
majazi-nya yaitu الضلالة(kesesatan) dan الهدى (petunjuk). Pada ayat tersebut, Allah SWT
menyembunyikan musyabbah-nya dan dinampakkan musyabbah bih-nya dengan
jelas. (Mardjoko Idris, 2007 : 27-28).
b. Al-Mutanabbi berkata
ketika ia disambut dan dirangkul oleh orang yang dipujinya:
فَلَمْ
أَرَ قَبْلِى مَنْ مَشَى الْبَحْرُ نَحْوَهُ :: وَلاَ رَجُلاً قَامَتْ تُعَانِقُهُ
الأُسْدُ
“ Tidak
pernah aku lihat sebelumku orang yang didatangi oleh laut dengan berjalan kaki,
dan tidak juga orang yang dirangkul oleh singa. ”
Pada bait Al-Mutanabbi di atas
mencakup dua kata majazi yaitu الْبَحْرُ (laut) dan الأُسْدُ (singa). Kata الْبَحْرُ diisyaratkan dengan kedermawanan seseorang sedangkan
kata الأُسْدُ diisyaratkan
dengan keberanian seseorang yang diserupakan dengan keberanian sesosok singa. (Abdurrahman
Hasan Al-Maidani, 1997 : 249).
c. Ia berkata dalam
memuji Saifud-Daulah:
أَمَا
تَرَى ظَفَرًا حُلْوًا سِوَى ظَفَرٍ :: تَصَافَحَتْ فِيْهِ بِيْضُ الْهِنْدِ
وِاللِّمَم؟
“ Apakah
kamu tahu suatu kemenangan yang paling indah selain kemenangan yang di dalamnya
saling berjabat tangan antara pedang dan kepala?. ”
Pada bait tersebut terdapat satu kata
majazi yakni تَصَافَحَتْ(berjabat tangan) diserupakan dengan bertemu atau berjumpa atau
bersua. (Ali Al-Jarimi
dan Musthofa Amin, 1999 :
75-76).
b) Isti’arah Makniyyah
Menurut Ali al-Jarim dan Musthafa Amin dalam bukunya
Al-Balaghatul Wadhihah menyebutkan bahwa Isti’arah Makniyyah adalah :
ما
حذف فيها المشبّه به و رمز له بشيء من لوازمه
“ Isti’arah yang
dibuang musyabbah bih-nya, dan sebagai isyarat ditetapkan salah satu sifat
khasnya. ” (Ali Al-Jarimi dan
Musthofa Amin, 1999 : 77).
Dalam bukunya Abdurrahman
Hasan Al-Maidani yang berjudul Al-Balaghah Al-Arabiyah Ususuha Wa
‘Ulumuha Wa Fununuha mendefinisikanIsti’arah Makniyyah adalah:
هي
التي لم يصرّح فيها باللفظ المستعار
“ Isti’arah
yang tidak diperjelas dengan lafadz musta’arnya sendiri. ” (Abdurrahman Hasan Al-Maidani, 1997 : 243)
Dari definisi-definisi di atas
dapa dipahami bahwa Isti’arah Makniyyah adalah isti’arah yang musyabbah bih-nya
tidak disebutkan dan sebagai gantinya disebutkan sifat-sifat atau kekhasan atau
kebiasaan yang ada pada padanannya.
·
Contoh-Contoh:
a. Allah SWT
berfirman dalam Al-Quran Surat An-Nahl ayat 91:
وأوفوا
بعهد الله إذا عاهدتم ولا تنفقوا الأيمان بعد توكيدها وقد جعلتم الله عليكم كفيلا
إن الله يعلم ما تفعلون
“ Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ”
Di
dalam ayat tersebut, Allah menggunakan kata تنقضوا(memisahkan) yang disandarkan pada kata الأيمان, padahal kata تنقضوا tersebut dipakai
untuk suatu benda yang nyata. Namun, Allah menyerupakan kata الأيمان dengan kata الحِبال (tali), sehingga dalam kalam-Nya tersebut menggunakan
kata تنقضوا sebagai
sifat khas darimusyabbah bih yang dibuang. (Fadlol Hasan Abbas, 1987 : 173).
b. Al-Hajjaj
menyatakan dalam salah satu pidatonya:
إِنِّي
لَأَرَى رُؤُوسًا قَدْ أَيْنَعَتْ وَحَانَ قِطَافُهَا وَإِنِّي لَصَاحِبُهَا
“ Sesungguhnya
aku melihat beberapa kepala yang telah masak dan telah sampai waktu panennya
dan saya adalah pemiliknya ”.
Dalam pidatonya, Al-Hajjaj menyerupakan
kepala denganbuah-buahan. Sebagai isyarat bagi musyabbah bih yang
dibuang dan ditetapkan kata yang menunjukkan sifatnya yang khas, yaitu kataأَيْنَعَتْ (masak). (Ali
Al-Jarimi dan Musthofa Amin,
1999 : 75-76).
c. Seorang
penyair berkata:
وإذا
المَنية أنشبت أظفارها :: ألفيت أنّ كل تميمة لا تنفع
“ Jika
kematian telah mencengkeramkan kuku-kukunya Engkau akan mengetahui bahwa segala
azimat itu tidak akan ada manfaatnya ”.
Pada bait tersebut sang penyair
menyerupakan kata المنيّة(kematian) dengan kata السبع (seekor hewan predator). Sebagai isyarat
dibuangnya musyabbah bih, maka digantikan dengan sifat yang khas
darinya yaitu dengan kata الأَظفار (kuku). Karena biasanya seekor hewan predator memiliki
kuku-kuku yang tajam untuk mencengkeram mangsanya begitu pula ketika seorang
penyair menyerupakan kematian dengan predator tersebut sebab tidak ada seorang
pun yang bisa menghindar dari kematian. (Fadlol Hasan
Abbas, 1987 : 174).
B. Perbedaan antara
Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah
Perbedaan
antara kedua macam isti’arah tersebut terlihat jelas dari definisinya
masing-masing. Dan hal itu pun sesuai dengan pengklasifikasian isti’arah-nya juga. Perbedaannya yaitu
antara lain:
1.
Isti’arah tashrihiyyah dalam pola kalimatnya
menyebutkan musyabbah bih-nya dengan jelas dan tegas,
sedangkan isti’arah makkniyyah tidak menyebutkannya dengan jelas.
2.
Dalam isti’arah makniyyah diperlukan adanya suatu kata yang
menggantikan musyabbah bih-nya yaitu berupa sifat-sifat atau kekhasan atau
kebiasaan yang ada padannya, sementara isti’arah tashrihiyyahtidak
diperlukan.
3.
Dalam kalimat isti’arah tashrihiyyah yang dibuang
adalah musyabbah-nya, sedangkan dalam kalimat isti’arah
makniyyah yang dibuang ialah musyabbah bih-nya yang kemudian diganti
dengan sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padanya.
C. Alasan
Pemakaian Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah
Istilah isti’arah
tashrihiyyah dalam bahasa indonesia dikenal dengan sebutan majas metafora.
Sedangkan istilah isti’arah makniyyah dikenal dengan sebutan
majas personifikasi. Keduanya memakai bahasa kiasan atau majazi yang mana
diserupakan dengan suatu benda yang memiliki kesamaan dengannya ataupun
menyerupakan benda mati dengan benda hidup. Alasan dari pemakaian kedua majas
tersebut ialah untuk efektifitas
kalimat, memper indah uslub kalimat
dan mendalamkan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan pemakaian majas
tersebut juga dapat menyampaikan perasaan hati yang begitu dalam yang mana bila
tetap menggunakan kata-kata hakikinya, maksud dari kalimat atau ucapan yang
diinginkan tidak tercapai. Seperti contoh berikut.
Ø Isti’arah Tashrihiyyah:
كتاب
أنزلناه إليك لتخرج النّاس من الظلمات إلي النور
bila ayat tersebut menggunakan kata hakikinya
maka menjadi,
كتاب
أنزلناه إليك لتخرج النّاس من الضلالة الي الهدى
Ayat
yang memakai kata majazi dengan yang memakai kata hakiki akan terasa beda bila
diresapi. Ayat yang memakai kata majazi akan terasa lebih agung dan maknanya
bisa meresap ke dalam kalbu. Selain itu, kata الظلامات juga bisa dimaknai dengan hal lain yang bermakna buruk.
Begitu pula dengan kata النور bisa juga dimaknai dengan hal lain yang bermakna baik.
Namun jika tetap memakai kata majazi yang diikuti dengan kata hakikinya, akan
terlihat lebih panjang dan kurang efektif serta kurang enak untuk dibaca atau
diperdengarkan. Seperti berikut ini.
كتاب
انزلناه اليك لتخرج الناس من الضلالة كالظلامات الي الهدى كالنور
Oleh karena itu, akan terasa lebih indah
untuk dibaca dan maknanya lebih dalam jika kata hakikinya (musyabbahnya)
dibuang dan hanya ditampakkan kata majazinya (musyabbah bihnya).
Ø Begitu pula dengan isti’arah
makniyyah. Seperti contoh berikut.
وَإِذَا
المَنِيَّةُ أَنْشبتْ أَظفارَها :: أَلْفَيْتَ أنّ كل تَمِيْمَةٍ لَا تَنْفَعُ
Sebagaimana
pada contoh isti’arah tashrihiyyah sebelumnya, pada
contoh isti’arah makniyyah juga akan terasa biasa-biasanya saja jika
tidak ada kata-kata kiasannya dalam suatu kalimat. Oleh karena
dalam isti’arah makniyyah menyerupakan benda mati dengan benda hidup,
maka yang ditampakkan ialah musyabbahnya bukan musyabbah
bih-nya.
Kemudian
untuk menggantikan musyabbah bih yang dibuang maka ditampakkan sifat
khasnya yang biasanya berupa kata kerja (fi’il),
sehingga musyabbah yang semulanya benda mati akan terasa hidup
setelah digabungkan dengan sifat khas dari musyabbah bih. Bila musyabbah bih-nya tidak
dibuang maka kalimatnya akan terasa kurang efisien dan kurang enak untuk dibaca
atau didengar serta dapat menghilangkan keindahan rasa dari kalimat tersebut. Sehingga
tidak boleh menampakkan musyabbah dan musyabbah bih secara
bersamaan di dalam kalimat seperti contoh berikut.
وإذا
المَنية كالسبع أنشبت أظفارها :: ألفيت أنّ كل تميمة لا تنفع
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa isti’arah adalah Isti’aroh
adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaifnya (musyabbah/musyabbah
bih). Sehingga, hubungan antara
makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah (saling menyerupai).
Isti’arah tashrihiyyah
adalah isti’arah yang musyabbah bih-nya disebutkan dengan jelas di dalam
kalimat. Sedangkan isti’arah
makniyyah ialah isti’arah yangmusyabbah bih-nya tidak disebutkan
dan sebagai gantinya disebutkan sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang
ada padannya.
Perbedaan diantara keduanya ialah:
1.
Isti’arah tashrihiyyah dalam pola kalimatnya
menyebutkan musyabbah bih-nya dengan jelas dan tegas,
sedangkan isti’arah makkniyyah tidak menyebutkannya dengan jelas.
2.
Dalam isti’arah makniyyah diperlukan adanya suatu kata yang
menggantikan musyabbah bih-nya berupa sifat-sifat atau kekhasan atau
kebiasaan yang ada padannya, sementara isti’arah tashrihiyyah tidak
diperlukan.
3.
Dalam kalimat isti’arah tashrihiyyah yang dibuang
adalah musyabbah-nya, sedangkan dalam kalimat isti’arah
makniyyah yang dibuang ialahmusyabbah bih-nya yang kemudian diganti
dengan sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padanya.
Alasan
dari pemakaian isti’arah tashrihiyyah dan isti’arah
makniyyah adalah untuk efektifitas kalimat. Selain
itu juga untuk memperindah uslub suatu
kalimat dan mendalamkan makna yang terkandung di dalamnya sehingga bisa
membuat mukhotob terkagum-kagum.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Abbas, Fadlol Hasan, Al-Balaghah
Fununuha Wa Afnanuha, ‘Aman: Dar Al-Furqon, 1987.
Ø Al-Jarimi, Ali dan Musthofa
Amin, Al-Balaghah Al-Wadhihah, Dar Al-Ma’arif, 1999.
Ø Al-Maidani, Abdurrahman Hasan, Al-Balaghah
Al-Arabiyah Ususuha Wa ‘Ulumuha Wa Fununuha, Damaskus: Dar Al-Qolam,
1997.
Ø Al-Qazwini, Al-Khatib, Al-Idhoh
Fi ‘Ulum Al-Balaghah Al-Ma’ani Wa Al-Bayan Wa Al-Badi’, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010.
Ø Idris, Mardjoko, Ilmu Balaghah
Antara Al-Bayan dan Al-Badi’, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2007.
Ø Iman, Maman Dzul, Menyingkap Rahasia Balaghah dalam
Karya Al-Barzanjiy, Yogyakarta: Deepublish, 2013.